Kekerasan yang Tak Kunjung Usai: Alarm Keras bagi Negara


author photo

29 Des 2025 - 12.17 WIB




Oleh Nurul Khafid, S.Pd.

Data tentang kekerasan di Indonesia terus menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Kasus kekerasan di lingkungan pendidikan meningkat dari tahun ke tahun, mulai dari perundungan, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual.
Menurut data dari Sistem Informasi Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), tercatat ada 32.108 kasus kekerasan sepanjang 2024, dengan dominasi korban perempuan dan anak (kemenpppa.go.id, 29/12/2025). 

Perempuan dan anak masih menjadi kelompok paling rentan dan sering kali menjadi korban di ruang yang seharusnya aman, yaitu rumah, sekolah, bahkan lingkungan terdekat mereka sendiri. Fenomena ini menunjukkan bahwa rasa aman belum sepenuhnya menjadi hak yang benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Tak hanya kekerasan, angka pembunuhan pun masih menjadi persoalan serius. Lebih mengkhawatirkan lagi, bentuk kejahatan ini kian ekstrem. Munculnya kasus femisida, pembunuhan dalam lingkup keluarga (parisida), hingga mutilasi menjadi gambaran betapa krisis kemanusiaan sedang berlangsung di negeri ini.

 Banyak dari kasus ini dikaitkan dengan gangguan kesehatan mental, tekanan ekonomi, atau relasi sosial yang rusak, seolah menunjukkan bahwa masyarakat sedang berada dalam kondisi psikologis yang rapuh. Jika ditelaah lebih dalam, maraknya kekerasan dan pembunuhan ini mencerminkan kegagalan negara dalam menjamin keamanan jiwa rakyatnya. Negara seharusnya hadir bukan hanya sebagai penegak hukum setelah kejahatan terjadi, tetapi juga sebagai pelindung yang mampu mencegah lahirnya kejahatan sejak dari akarnya. Ketika rasa aman menjadi barang mahal, maka ada sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Faktor pemicu kekerasan pun semakin kompleks. Tekanan ekonomi yang menghimpit, ketimpangan sosial, emosi yang tak terkelola dengan baik, dendam berkepanjangan, hingga paparan konten digital yang sarat kekerasan turut membentuk pola perilaku masyarakat. Media digital, alih-alih menjadi ruang edukasi, sering kali justru memperkuat normalisasi kekerasan dan menumpulkan empati, terutama ketika masyarakat tidak diimbangi dengan literasi moral dan kontrol sosial yang kuat.
Akar persoalan ini tak bisa dilepaskan dari penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memisahkan nilai moral dan agama dari kehidupan publik. Sistem ini menempatkan materi sebagai tolak ukur utama, sementara nilai kemanusiaan dan tanggung jawab sosial terpinggirkan. Akibatnya, manusia dipandang sebagai alat produksi, bukan sebagai jiwa yang harus dilindungi dan dimuliakan.

Dalam perspektif Islam, keamanan merupakan kebutuhan dasar yang wajib dijamin oleh negara. Negara bertanggung jawab penuh menjaga jiwa, akal, dan kehormatan rakyatnya melalui sistem hukum yang adil, pendidikan Islam yang membentuk kepribadian, serta kebijakan sosial yang berpihak pada kemaslahatan. Islam tidak hanya menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga membangun sistem pencegahan yang menyentuh akar persoalan. Dengan demikian, keamanan bukan sekadar slogan, melainkan hak yang nyata dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Bagikan:
KOMENTAR