KPA Luwa Nanggroe Sebut Pusat Hanya Seremonial, Korban Banjir Diambang Kelaparan Ekstrem


author photo

2 Des 2025 - 03.50 WIB


BANDA ACEH — Bau lumpur dan amis kematian menyelimuti tiga provinsi sekaligus: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. 

Di tengah kelumpuhan total pasca-banjir bandang yang menaksir ribuan korban jiwa, suara keras datang dari seberang. 

Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe, Umar Hakim Ilhami, melemparkan kritik pedas yang menusuk langsung ke jantung kekuasaan di Jakarta.

Umar menggambarkan situasi di Aceh saat ini bukan lagi sekadar bencana alam, melainkan bencana kemanusiaan yang diperparah oleh kelalaian struktural. Ia menyebut suplai logistik pangan dan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Aceh telah menipis hingga ke titik "ekstrem".


"Kondisi ini tidak menjawab perhatian pusat dalam menangani bencana. Kelaparan ekstrem mulai terasa, dan jika ini berlanjut, huru-hara tak terelakkan. Penjarahan akan terjadi demi sesuap nasi," ujar Umar dalam keterangan resminya, Selasa, 2 Desember 2025.


Wilayah Tengah Putus, Bupati Angkat Tangan
Laporan lapangan menyebutkan wilayah Tengah Aceh kini terisolasi total. Akses jalan putus, jembatan lenyap, dan cadangan logistik di gudang-gudang daerah telah habis. 

Umar mengungkapkan fakta mengejutkan: para Bupati di wilayah terdampak dilaporkan kewalahan dan nyaris menyerah karena ketiadaan sumber daya, sementara upaya Pemerintah Provinsi dinilai tidak memadai untuk skala kehancuran sebesar ini.

"Pemerintah pusat terlihat hanya seremonial. Pejabat datang, foto-foto, lalu pulang. Ini panggung pansos (panjat sosial) di atas mayat rakyat Sumatera," tegas Umar dengan nada tinggi.

Kritik Umar menajam ketika membandingkan respons pemerintah saat ini dengan masa konflik Aceh. Ia mempertanyakan absennya armada militer besar-besaran untuk misi kemanusiaan.

"Harusnya Presiden kerahkan armada laut dan langit untuk supply barang makanan. Penanganan harus punya tim khusus dan terakomodir," cecar Umar. 

"Jangan hanya ketika konflik segala macam alat perang diturunkan karena ingin merenggut kekayaan alam kami. Giliran rakyat butuh makan, mana armada itu?"

Frustrasi rakyat di Pulau Sumatera, khususnya Aceh, disebut telah mencapai titik didih. Umar memberikan ultimatum keras: jika Jakarta tidak sanggup, akui ketidakmampuan tersebut.

"Jika tidak sanggup, menyerah saja. Tetapkan ini sebagai Bencana Nasional agar PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang ambil alih dan tangani langsung," pungkasnya.


Berdasarkan pantauan situasi terkini di lapangan, keputusasaan telah memicu serangkaian perilaku ekstrem di tengah masyarakat yang bertahan hidup tanpa kepastian:

 * Gizi Buruk Mengancam Generasi: Di pengungsian dan rumah sakit yang masih berdiri, stok susu formula dan makanan pendamping ASI (MPASI) nihil. Bayi dan balita dipaksa menahan lapar.

 * Rumah Sakit Lumpuh: Pasien luka berat dan ibu menyusui di beberapa RSUD hanya diberikan asupan nasi putih dan telur rebus seadanya. Gizi yang jauh dari cukup untuk pemulihan trauma fisik, memicu risiko kematian sekunder pasca-bencana.

 * Embrio Penjarahan: Di beberapa titik perbatasan kabupaten yang terisolir, warga mulai mencegat truk-truk swasta yang lewat, bukan untuk merampok harta, melainkan mencari sisa bahan makanan. Hukum rimba mulai berlaku saat perut kosong.

 * Mayat Belum Tergevakuasi: Ribuan korban yang tertimbun longsor dan terseret arus belum dapat dievakuasi karena ketiadaan alat berat dan BBM, menambah risiko wabah penyakit menular.

Situasi ini menjadi ujian nyata bagi pemerintah pusat: apakah akan menjawab dengan aksi masif "Langit dan Laut" seperti tuntutan KPA Luwa Nanggroe, atau membiarkan Sumatera tenggelam dalam krisis kemanusiaan yang lebih dalam.(**)
Bagikan:
KOMENTAR