(Oleh : Juliana Najma, Pegiat Literasi)
Dunia digital telah membawa perubahan besar dalam sejarah peradaban manusia. Kondisi Ini sekaligus menjadi tantangan besar khususnya bagi generasi Zillenial (Gen Z) dan Alpha —generasi yang lahir dan tumbuh dalam perkembangan arus teknologi yang cepat dan akses ke internet yang tidak terbatas.
Gen Z terbiasa menjalani hidup berdampingan dengan notifikasi. Media digital menjadi pintu utama bagi mereka untuk mengenal dunia. Sayangnya tanpa nilai-nilai Islam dan literasi digital yang memadai, mayoritas gen-Z lebih sering menonton influencer media sosial yang mempromosikan gaya hidup hedonisme dibandingkan menonton konten edukatif atau kajian Islam. Akibatnya mereka mulai mengadopsi dan mengikuti gaya hidup bebas. Generasi muda Muslim tak lagi memperhitungkan akibat, tapi bagaimana mencari pemuasan diri.
Ini diperparah dengan keberadaan negara yang tidak berperan untuk melindungi umat, justru dengan mengadopsi sistem kapitalisme-sekuler di negeri ini, negara telah ikut andil merancang berbagai platform media digital yang lebih memprioritaskan konten-konten yang bersifat hiburan daripada konten edukatif yang memperkuat tsaqofah Islam. Halal atau haram, tidak lagi menjadi pertimbangan. Akibatnya pengguna media sosial rentan kehilangan kompas moral. Karena lebih banyak dijejali konten digital yang destruktif, remeh dan dangkal.
Maka hari ini, dunia digital tidak lagi cukup hanya dikatakan sebagai penyedia jasa. Media digital memiliki peran jauh lebih besar, yaitu sebagai produsen budaya dan pembentuk kesadaran masyarakat —memengaruhi cara berpikir, cara bersikap, bahkan cara beragama. Digitalisasi telah bertransformasi menjadi alat bagi Barat untuk menyebarkan ideologi kufur yang menjauhkan umat dari pemikiran Islam.
Media digital menjadi serangan paling mematikan untuk menciptakan generasi Muslim yang membebek pada semua pemikiran, standar, dan arah peradaban Barat. Pemuda Muslim khususnya menjadi korban sekaligus pihak yang membantu Barat —secara tidak langsung, dalam menjalankan hagemoninya untuk mengaburkan Islam dari kaum Muslim.
Buktinya begitu gamblang ketika hari ini gaya hidup hedonis dan serba bebas telah mendominasi generasi Islam, viral dan validasi eksternal menjadi tolak ukur identitas dan nilai diri, hingga munculnya generasi FOMO —rasa cemas ketika ketinggalan tren terbaru. Bahkan para pemuda Muslim dijadikan sebagai penentang ide-ide Islam atas nama kebebasan individu dan menghormati perbedaan. Walhasil, generasi muda yang diharapkan menjadi pelopor perubahan justru banyak yang terperosok ke dalam jurang kehancuran.
Dopamin Instan Dunia Digital
Ironis meski terbukti menyebabkan berbagai masalah dan ancaman serius bagi generasi—jutaan konten digital yang destruktif, remeh dan dangkal justru makin menjamur. Kondisi ini semakin terpelihara karena kebiasaan pengguna yang menikmatinya terus-menerus dengan menggulir lini masa media sosial tanpa tujuan yang jelas.
Fenomena tersebut sering dikaitkan dengan algoritma media sosial yang bekerja secara otomatis di balik layar untuk menyaring, menyeleksi, dan menampilkan konten berdasarkan aktivitas dan preferensi setiap pengguna. Ini sengaja dirancang untuk memaksimalkan waktu layar pengguna —agar pengguna betah berlama-lama di depan layar. Algoritma mengatur sedemikian rupa agar konten relevan dengan minat pengguna.
Sayangnya mayoritas pengguna saat ini memanfaatkan media digital hanya untuk mendapatkan kesenangan instan. Konten pendek yang lucu, mudah dicerna ,atau mengejutkan dapat memicu pelepasan dopamin yaitu hormon “rasa senang” secara cepat. Ini menciptakan lingkaran umpan balik yang membuat pengguna ingin terus menggulir untuk mendapatkan sensasi senang serupa. Algoritma akan terus merekomendasikan konten sejenisnya. Hingga yang awalnya hanya hiburan mengisi waktu luang, kini berubah menjadi kebutuhan yang menyita waktu pengguna bahkan terbukti menurunkan interaksi sosial di dunia nyata.
Siapa Dibalik Rancangan Algoritma Media Sosial?
Pemimpin ORF —organisasi think tank India, Samir Saran, dalam "Navigating the Digitalization of Geopolitics", menjelaskan bahwa kekuatan baru digital di dekade kedua pada abad-21 ini, telah membangun ruang digital yang mampu melampaui kekuatan negara. Ruang digital telah menjelma menjadi "negara awan" dimana batas teritorialnya tidak berbentuk —tak berbatas namun sangat berpengaruh, hingga pada sebagian negara, ruang digital digunakan sebagai "teknologi otoriter" untuk mengawasi rakyatnya sendiri.
Agregasi identitas individu, mobilisasi suara politik, penentu pertumbuhan ekonomi dan penyediaan keamanan nasional yang sebelumnya dilakukan di bawah rezim negara —saat ini proses tersebut mulai bermigrasi ke area digital dan virtual. Teknologi digital telah menggeser monopoli negara atas urusan warga dan sumber daya.
Dr. Fika Komara, dalam bukunya yang berjudul "Menantikan Sang Pembebas —Membangun Kapasitas para Da'i di Tanah Terjajah", menjelaskan siapa saja aktor paling berpengaruh di dunia digital. Kebijakan dan program-program mereka dalam berbagai platform menjadi "game changer" bagi peradaban manusia. Mereka memegang kendali untuk menyetel aspek kognisi dan mental miliaran pengguna internet, hingga memengaruhi proses pengambilan keputusan, pilihan dan keberpihakan. Ini mengapa memahami karakter dan misi mereka menjadi penting karena manuver mereka berurusan dengan arah peradaban.
Direktur Tow Center for Digital Journalism, Emily Bell, mengemukakan perspektif kritisnya yang menguak fakta dibalik misi para pendiri media sosial. Seperti Larry Page dan Sergey Brin —pendiri google dengan semboyan Google "mengatur informasi dunia". Atau misi global yayasan milik Bill Gates yang bertekad "menjaga kemanusiaan". Para teknolog ini menyembunyikan model bisnisnya dibalik berbagai slogan manis. Namun yang mereka inginkan sebenarnya hanya satu : dominasi pasar global.
Emily dalam tulisannya yang berjudul "Agenda Tersembunyi (Hidden Agenda) para Pendiri Media Sosial" menyoroti CEO Facebook Mark Zuckerberg —yang juga menguasai platform WhatsApp dan Instagram saat ini. Pada Maret 2019, Mark mengatakan "privasi memberi orang kebebasan untuk menjadi diri sendiri dan terhubung secara alami, itulah sebabnya kami membangun jejaring sosial". Dalam pernyataan ini Mark —sebagai pihak ketiga dalam jejaring media sosial, tampak menawarkan keamanan data pribadi pengguna. Padahal pada tahun 2004, Mark Zuckerberg yang sama pernah mengirim pesan kepada salah seorang temannya bahwa ia dapat memberi informasi pribadi salah satu dari 4.000 pengguna jejaring sosial media yang baru diluncurkannya.
Menurut Emily ini adalah cara-cara klasik penuh kebusukan demi mempertahankan kedudukan platform-platform tersebut agar tetap diminati oleh milyaran pengguna. Ini bukan lagi hanya soal privasi pengguna Facebook, WhatsApp, dan Instagram yang sedang dipertaruhkan. Tetapi tentang margin keuntungan perusahaan. Inilah misi sesungguhnya para pendiri media sosial : untuk menghasilkan uang dengan mendominasi pasar global melalui kemampuan tertentu yang dimilikinya dalam bidang teknologi dan rekayasa industri.
Ketika "Perhatian Manusia" Menjadi Ladang Bisnis para Kapitalis
Shoshana Zuboff tentang "Surveillance Capitalism" menyebutkan bahwa apa yang disebut sebagai iklan, sekarang menjadi ancaman bagi kebebasan dan privasi manusia. Tidak ada masa depan yang cerah bagi umat manusia dengan dunia digital yang dikendalikan oleh aktor-aktor korporasi yang mengejar margin perusahaan dan kepentingan bisnis.
Naasnya bagi para pengguna media sosial aktivitas berselancar di internet sering dianggap sekadar hiburan atau aktivitas selingan mengisi waktu luang. Padahal yang sebenarnya terjadi mereka sedang menjadi komoditas komersial. Platform media digital menganalisis dan mengelola data pengguna dengan memanfaatkan pola interaksi, preferensi, dan aktivitas pengguna, —dari jejak konten yang meninggalkan like, komen, atau share bahkan dari setiap hal yang diinput pengguna ke media digital melalui mesin pencari. Setiap aktivitas di internet adalah data yang berharga untuk mendukung periklanan.
Di bawah sistem batil materialisme-liberalisme berbagai platform media digital ini telah menjelma sebagai stimulus marketing yang sangat halus. Dunia industri kapitalis memanfaatkan hal ini untuk memodifikasi pikiran, perasaan dan perilaku pengguna. Tujuannya menarget manusia sebagai konsumen abadi produk-produk industri. Ini tampak jelas dari sikap konsumen yang tidak mampu lagi membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Mengutip dari ustadz Doni Riw dalam buku "Indonesia Gelap", ia menuliskan pemikiran Baudrillard dan Umberto Eco, yang menjelaskan pengaruh dunia digital dalam tahap yang lebih lanjut. Ketika semua orang sejagat raya sudah memakai sabun mandi, tapi mesin pembuat sabun mandi terus berproduksi, apa yang perlu dilakukan untuk tetap bisa menjual sabun mandi? Mereka menciptakan sebuah varian baru, yaitu sabun khusus untuk wajah. Bagaimana umat bisa percaya bahwa kulit perut dan kulit wajah itu berbeda? Jawabannya, sihir iklan yang membius pikiran.
Inilah dampak dunia digital pada tahap yang lebih tinggi. Dunia yang dibangun melalui simulasi iklan yang menyihir kesadaran. Konsumen tidak lagi bisa membedakan antara fakta dan realitas buatan (hyper realism).
Dunia hyper realism telah mengisolasi manusia hingga terperangkap pada realitas semu yang sengaja dirancang dalam strategi marketing. Mereka tidak bisa berpikir rasional, akhirnya terjebak dalam sindrom compulsive buying disorder —yakni pembelian dengan kontrol yang lemah dan berlebihan. Bahkan tidak bisa lagi membedakan mana yang halal dan mana yang haram.
Ruang digital tak pernah menjadi ruang netral, tidak ada yang benar-benar murni untuk kemanusiaan, apalagi untuk membela kepentingan umat Islam. Di bawah sistem kapitalisme —yang menganut prinsip uang adalah segalanya, ruang digital menjadi alat bagi korporasi untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Asas sekulerisme menjadi atribut yang melanggengkan sistem ini —sekuler artinya memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga hukum Allah tidak lagi digunakan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan : pendidikan, ekonomi, politik, peradilan, bahkan sampai ke media digital. Ketika negeri ini masih mengadopsi sistem batil dan rusak, kapitalisme-sekuler, maka selama itu pula berbagai musibah sosial akan "selalu" menimpa umat.
Cara Sistem Islam Membangun Ruang Digital
Penting bagi kita —sebagai pengguna internet membekali diri dengan literasi digital dan memahami manajemen waktu dalam bermedia sosial. Ini agar kita lebih bijak dan tidak reaktif terhadap semua informasi yang tersedia. Namun hal ini bukan solusi dari persoalan media digital di dalam sistem kapitalisme-sekuler.
Sebuah negara yang menerapkan sistem kapitalisme-sekuler akan absen dari tanggungjawabnya sebagai penjaga dan pelindung umat. Sekali pun negara mampu membendung berbagai konten destruktif di media digital, kebijakan ini tidak akan pernah terjadi. Justru negara lah yang telah membuka pintu lebar-lebar bagi Barat untuk menyebarkan tsaqofah asing atas nama globalisasi, modernisasi dan digitalisasi.
Maka kekuatan sistem harus dilawan dengan kekuatan sistem pula. Saat ini berbagai kerusakan begitu jelas ditunjukkan oleh negara yang menerapkan sistem kapitalisme-sekuler. Maka mari kita bersikap adil dengan memahami bagaimana sistem Islam ketika diterapkan dalam sebuah negara.
Negara yang mengemban sistem Islam akan menjamin penerapan secara menyeluruh atas hukum-hukum Allah sebagai penjaga dan pelindung kaum Muslim. Sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat Al-Maidah ayat 48, yang artinya, "maka putuskanlah perkara menurut apa yang Allah kehendaki dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu". Ayat ini menuntun kaum Muslim untuk hidup hanya berdasarkan hukum Allah SWT. Atas dasar inilah setiap aktivitas individu di dalam negara yang menerapkan Islam haruslah terikat pada hukum syari'at.
Penggunaan gadget dan media digital di dalam Islam hukum asalnya adalah mubah (boleh). Bahkan dapat menjadi wasilah pahala ketika digunakan untuk memudahkan ibadah dan muamalah termasuk dakwah dan syiar Islam. Namun demikian hukumnya dapat berubah menjadi haram ketika digunakan untuk hal-hal yang melanggar syariat seperti melihat konten pornografi, cyberbullying, judol, penipuan, dan seterusnya. Hal ini didasarkan pada salah satu kaidah fiqih yaitu, "Sadd al-Dzar'ah" (menutup jalan menuju keburukan) artinya segala sesuatu yang mengantarkan pada keharaman hukumnya menjadi haram.
Selain itu sistem Islam juga akan mendorong masyarakat menegakkan amar makruf nahi mungkar di dalam media digital. Ini diwujudkan dengan mengisi dominasi konten-konten yang sarat nilai-nilai Islam, pesan-pesan dakwah, dan nasihat yang menjaga kehormatan kaum Muslim serta pesan-pesan Islam yang menggugah Muslim menjadi semakin Muslih dan memiliki kesadaran politik. Tidak ada ruang bagi para influencer konten destruktif. Karena negara akan memberikan sanksi tegas melalui keputusan Khalifah ketika ada yang melakukan pelanggaran syariat.
Namun dari semua itu, peran paling fundamental dan krusial dipegang oleh negara. Dalam sistem Islam negara berfungsi sebagai raa'in (pemelihara) dan junnah (penjaga). Negara sebagai pihak sentral bertanggungjawab atas kemaslahatan umat. Maka semua kebijakan negara adalah untuk memastikan perlindungan kepada rakyat baik di dunia nyata maupun ruang digital.
Individu-individu dalam sistem Islam akan dibina melalui pembinaan dengan pemahaman Islam yang kokoh yang diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan. Output dari proses tersebut adalah terbentuk manusia dengan kepribadian Islam yang luhur. Ini menjadi benteng pertahanan agar generasi muda tidak terarus oleh pemikiran asing. Sekaligus bekal agar mereka memiliki sensibilitas tinggi terhadap masalah-masalah umat secara nyata dan mampu merespon berbagai informasi dengan baik.
Negara dalam sistem Islam akan memfilter informasi termasuk mengontrol berbagai aplikasi digital agar tidak menyimpang dari aturan syarak. Jurnalisme Islam yang sehat akan dihidupkan kembali. Mereka akan memberitakan berbagai peristiwa yang terjadi di tubuh umat secara objektif dan sehat dengan jaminan keamanan dari negara.
Dengan tegaknya sistem Islam, manusia akan dilindungi hak-haknya oleh negara terutama dari algoritma nilai-nilai asing. Teknologi big data akan dicegah menjadi pintu masuk penjajah. Tidak ada celah bagi para korporasi untuk memanfaatkan data pribadi umat. Karena korporasi berada di bawah aturan negara yang menerapkan syariat.
Dunia digital yang dipenuhi konten merusak hanya satu dari sekian banyak kerusakan yang terjadi akibat diterapkannya sistem rusak kapitalisme-sekuler. Musibah sosial ini tidak akan bisa terselesaikan jika akar masalahnya masih dibiarkan. Sistem yang buruk akan membangun peradaban yang buruk. Oleh karena itu, kita harus memperjuangkan sistem yang baik yang akan membangun peradaban yang baik pula yaitu peradaban Islam.
Allahumma aizzal islam wal muslimin.