Sanggupkah RUU Perampasan Aset Mengobati Korupsi Kronis di Negeri Ini?


author photo

29 Mei 2023 - 07.09 WIB


Oleh : Ana Fitriani

Sepintar pintarnya bangkai ditutupi, baunya akan tercium juga, mungkin pepatah ini cocok untuk menggambarkan kebusukan korupsi yang menggurita di negeri ini. Dari kasus viral penganiayaan remaja yang pelakunya anak pejabat pajak, terungkap sang ayah telah menerima gratifikasi selama 12 tahun dan pencucian uang, disusul terendusnya transaksi janggal senilai Rp. 349 Triliun di Kementrian Keuangan.

Kemudian adanya 10 tersangka korupsi tunjangan kinerja di Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), korupsi di tingkat Bupati, dari kritikan viral seorang youtuber hingga kejanggalan harta dan keuangan pejabat di Lampung, dan masih banyak lagi kasus korupsi yang terungkap hingga yang terbaru Dirut Waskita Karya tak mau ketinggalan menambah daftar. 

Melihat betapa rajinnya para pejabat kita melakukan korupsi, baik secara individualis maupun berjamaah, membuat saya sempat berpikir kalau korupsi hanyalah tentang seseorang yang tergiur oleh harta dan uang dengan jumlah fantastis. Tapi, ternyata dikalangan rakyat kecil pun korupsi kecil-kecilan seperti sudah makanan sehari hari. Sudah sangat kronis.

Fakta tersebut saya temui secara nyata, seseorang yang mengaku anggota dari suatu program bentukan pemerintah setempat, hendak membeli barang dalam jumlah cukup banyak, katanya untuk dibagikan gratis dalam acara sosial. Setelah membayar, beliau meminta harga di nota dinaikkan dari harga aktual dengan dalih, “Sudah Biasa kok harga di-up-kan gitu, Mbak. Ga seberapa juga duitnya…”. 

Sering juga saya jumpai seorang pegawai yang setelah berobat meminta kuitansi kosong atau meminta harga di kuitansi dinaikkan dengan tujuan ketika perusahaan tempat ia bekerja mengganti biaya berobat tersebut, ia mendapatkan keuntungan diluar haknya. Dengan dalih yang sama, ‘uang yang didapat tidak seberapa’. Kontan saya menolak, sadar tidak sadar hal yang dilakukan 2 contoh nyata di atas adalah praktek korupsi, merupakan perbuatan tercela dan berdosa berapa pun nominalnya, hanya 500 rupiah atau 1 milyar sekalipun. Sekalipun tidak melanggar hukum pidana di dunia karena jumlah ‘tidak seberapa’.

Seharusnya kita tetap ingat bahwa perkara nota atau kuintansi yang ‘tidak seberapa’ akan tetap dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Jadi teringat pernyataan viral dari anggota Komisi IX DPR RI Melchias Marcus Mekeng yang menyebut ‘makan uang haram kecil-kecil okelah’ dalam sebuah rapat (detiknews, 28 maret 2023).

Di tengah kondisi yang semakin memprihatinkan Menko Polhukam Mahfud MD terlihat masih berusaha mencari solusi untuk memberantas kejahatan korupsi melalui pengesahan RUU Perampasan Aset. Namun, respon yang didapat Pak Menteri dari Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto atas desakan RUU ini berupa ‘Gurauan’ yang menyatakan semua anggota DPR patuh pada ‘Bos’ masing masing. Jadi dia menyarankan pemerintah sebaiknya melobi ketua umum partai (CNN Indonesia, 31 maret 2023). 

Permintaan pengesahan itu ditolak ketua Komisi III, jika bukan perintah ketua umum partai (Republika). Walaupun, kemudian diralat oleh Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani yang mengatakan pihaknya mendukung dan menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. (Kompas.com)


RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Bukan Solusi 

Pakar Hukum Universitas Trisakti, Prof. Abdul Fickar Hadjar mengatakan, secara terminologi perampasan aset itu dimaksudkan untuk aset aset hasil kejahatan. Perampasan ini dilakukan tanpa melalui putusan pengadilan yang selama ini berwenang dalam menyita, melelang, dan mengembalikan pada yang berhak. Jadi, melalui UU ini aset aset hasil korupsi dapat langsung menjadi milik negara tanpa melalui proses pengadilan yang cukup panjang. (Republika) 

Dengan demikian, UU Perampasan Aset Tindak Pidana bertujuan mengembalikan kerugian negara lebih cepat. Tindak pidana disini tidak hanya korupsi, tetapi juga kejahatan narkoba, kasus penipuan hingga terorisme.

RUU yang juga dikenal dengan istilah Asset Recovery ini merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melawan Korupsi. Indonesia sudah menandatangi konvensi tersebut pada tahun 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang Undang Nomor 7 Tahun 2006. Namun, hingga saat ini Indonesia belum juga memiliki aturan hukum yang jelas tentang perampasan aset, masih sebatas isu panas dan polemik. (Kompas.com)

Jika RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sudah sejak lama di suarakan di ruang publik, mengapa begitu lama untuk melegalkannya? Nasir Djamil, anggota Komisi III lainnya mengatakan bahwa terhambatnya pembahasan RUU Perampasan Aset diakibatkan adanya kekhawatiran dari pemerintah dan DPR sebagai pembuat kebijakan, khawatir bahwa pengesahan RUU ini akan berpotensi menjadi bumerang bagi kepentingan individu dan kelompok mereka sendiri. 

Mekanisme dalam RUU Perampasan Aset ini akan mempermudah proses pelacakan hingga perampasan aset yang diduga berasal dari tindak pidana untuk dapat kembali ke kas negara. (antikorupsi.org) 

Jika demikian maka ‘Gurauan’ ketua Komisi III DPR RI tentang pengesahan RUU ini tergantung perintah ketua umum partai menjadi ‘Gurauan’ yang serius dan miris. Namun demikian RUU Perampasan Aset tetap meragukan untuk dapat mencegah dan memberantas korupsi yang sudah seperti penyakit kronis, sedangkan hukum di negeri ini saja tidak membuat koruptor takut dan jera. 

Apalagi UU ini lebih berfokus pada pengembalian aset lebih cepat. Alih-alih menghukum pelaku lebih keras. Sebaik apapun RUU dibuat, selama sistem yang dijadikan standar kehidupan masih Kapitalisme maka Oligarki masih akan bercokol dan penguasa yang amanah dan meri’ayah rakyat hanyalah kenyataan halu.

Korupsi adalah salah satu kemaksiatan yang terpelihara dan tersistematis. Pada kehidupan sekuler, di mana agama dipisahkan dari kehidupan, akan terbentuk manusia manusia yang tidak menjadikan halal haram sebagai standar kehidupan. Ditambah kultur kapitalisme yang mendorong seseorang untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya dan mencari keuntungan dari celah sekecil lubang jarum pun.

Alhasil, Pejabat negara sangat jauh dari amanah, jabatan dan kekuasaan dimanfaatkan untuk mencari keuntungan dan melindungi kepentingan sendiri atau kelompoknya. Mereka menjadi serakah mengambil uang rakyat, merusak alam demi proyeknya, dan hedonis, kerap memamerkan gaya hidup mewah. 

Hukum yang bisa diutak-atik dengan permainan kata kata bahwa koruptor selama ini bersikap baik, atas dasar belas kasihan, tertekan atau dalih kesehatan mental, koruptor bisa mendapatkan hukuman ringan hingga dapat terbebas, menunjukkan betapa lemahnya produk hukum buatan manusia. Bahkan, seseorang dengan riwayat sebagai koruptor dapat mencalonkan diri atau diangkat sebagai pemimpin atau pejabat publik, sama sekali tidak ada efek jera minimal rasa malu pun tidak.  

Sementara masyarakat di bawah terbiasa memanfaatkan kesempatan sekecil apapun untuk mencari keuntungan, pola pikir yang terbentuk ‘kalau tidak begini saya tidak dapat apa apa’. Seperti melakukan mark up harga di nota tanpa merasa bersalah karena menganggap kelebihan yang didapat tidak seberapa dan tidak merugikan negara seperti para koruptor kelas atas. Semua seperti lupa kalau kehidupan akan berakhir, setiap nafkah serta harta yang kita pakai atau masuk ke dalam tubuh akan diperhitungkan. Celakalah jika ada sesuatu sekecil apapun yang bukan hak kita telah kita ambil.

Para pejabat yang terhormat seharusnya ingat kalau jabatannya adalah amanah yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan di yaumul hisab. Belum cukupkah kerusakan yang kita saksikan dan alami, bukankah sudah saatnya kita beralih pada hukum buatan sang Pencipta, yang paling tahu seluk beluk mahluk ciptaan-Nya. 

Hanya syariat Islam yang mampu memberantas korupsi, paling tidak hal ini sudah pernah dibuktikan dalam sejarah masa pemerintahan Islam ratusan tahun silam. Dalam Islam pencegahan dan pemberantasan Korupsi dimulai dari penanaman aqidah yang menanamkan standar halal haram berdasarkan syariat Islam. Manusia akan paham tujuan hidupnya tidak hanya tentang dunia, tidak hidup sesuka hawa nafsunya dan kesadaran adanya hari penghakiman di akhirat, hingga pemberian hukuman yang menjerakan. 

Langkah Pencegahan korupsi selanjutnya dimulai dari perekrutan pegawai dan pengangkatan pejabat berdasarkan kompetensi dan integritas bukan nepotisme atau karena pembagian kue kekuasaan. Khalifah akan selalu melakukan pembinaan kepada para aparat pemerintahan agar mereka tetap sadar untuk menjaga amanah dan takut pada Allah. 

Negara wajib memberikan gaji yang layak dan menegaskan sabda Rasulullah yang memperingatkan, “Siapa saja yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja yang ia ambil diluar itu adalah harta yang curang” (HR. Abu Dawud). 

Dengan demikian, pejabat dan jajarannya yang memiliki keimanan dan aqidah Islamiyah otomatis paham tentang haramnya menerima suap. Dalam negara yang menegakkan syariat Islam, harta para pejabat wajib dihitung dan diawasi dari sebelum menjabat hingga setelah masa jabatan selesai. Hal tersebut sudah pernah dicontohkan di masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab. Pengawasan ini tidak hanya dilakukan oleh negara tetapi juga masyarakat.

Jika dengan sedemikian rupa, korupsi masih terjadi, atau masyarakat menemukan kasus korupsi disekitar mereka dengan nominal sekecil apapun, maka akan diberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman yang diberikan sesuai kadar kejahatan korupsi yang dilakukan dan ditentukan oleh hakim. Hukumannya dimulai dari mengumumkan si pelaku beserta keluarganya secara publik layaknya penjahat yang tertangkap basah, lalu hukuman sesuai tingkatan kejahatan korupsi dan kerugian ditimbulkan dapat berupa pemberian teguran dan pemecatan secara tidak hormat, hukuman penjara, pembayaran denda, menghukum cambuk, memotong bagian tangan hingga hukuman mati, semua dilakukan dihadapan publik. 

Hal itu tentu saja memberikan efek jera bagi pelaku dan bagi masyarakat yang melihat akan berpikir ratusan kali bahkan tidak akan berani berniat untuk korupsi. Perampasan aset tindak pidana tentu saja dilakukan otomatis, memiskinkan si koruptor sudah pasti dilakukan, karena harta yang diperoleh sudah jelas bukan hak si koruptor akan langsung dikembalikan ke kas negara atau Baitul mal tidak perlu melalui proses berbelit pengadilan apalagi harus bertahun tahun hanya untuk mengesahkan RUU-nya. 

Demikianla aturan Islam yang berasal dari Allah Sang pencipta, sangat berbeda dengan hukum atau undang-undang buatan manusia yang akalnya terbatas dan sarat dengan kepentingan sendiri dan kelompok. Bahkan untuk mengesahkan satu RUU mereka harus memikirkan untung dan rugi bagi kelompoknya.
Wallahu’alam bisawab.





Bagikan:
KOMENTAR