Oleh : Purwanti, S.P d (Guru BK di Samarinda)
Refleksi Hari Guru
Hari Guru Nasional diperingati pada 25 November setiap tahunnya. Momen peringatan ini penting bagi masyarakat Indonesia, terutama untuk memperhatikan peran guru. Guru adalah pilar penting bagi negara. Guru juga sosok sentral bagi masyarakat dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Guru berperan sebagai pendidik yang diharapkan mampu membentuk karakter peserta didik dan masa depan generasi mendatang. Mereka selama ini dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, padahal jasa guru sejatinya sangat banyak. Selain mentransfer ilmu pengetahuan, mereka juga berperan mencerdaskan bangsa dan membentuk karakter para peserta didik. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, kita dihadapkan pada kenyataan pahit yang menunjukkan bahwa sosok guru tidak lagi layak untuk "dijadikan teladan".
Dalam beberapa bulan terakhir, kasus pencabulan yang melibatkan guru di Balikpapan telah menciptakan keprihatinan mendalam di masyarakat. Tiga kasus berbeda telah terungkap, di mana para pendidik, yang seharusnya menjadi panutan, justru berperilaku sebaliknya. Kasus pertama melibatkan seorang guru SD yang didakwa mencabuli empat murid perempuan. Kasus kedua adalah seorang guru agama berinisial SMR yang dijatuhi hukuman 10 tahun penjara karena mencabuli enam muridnya. Terakhir, seorang guru SMK berinisial KI juga terlibat dalam pencabulan terhadap atletnya yang berusia 16 tahun. Kasus-kasus pencabulan yang melibatkan guru di Balikpapan dan daerah lainnya telah mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap profesi ini. Hal ini menuntut kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang seharusnya dipegang oleh seorang guru. Kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam sistem pendidikan kita.
Dan Tak bisa dipungkiri ungkapan bahwa pendidikan berperan strategis dalam memajukan suatu bangsa adalah benar. Maju mundurnya suatu bangsa bisa kita nilai, salah satu indikatornya dari output pendidikan. Misalnya, mereka yang kini tengah duduk di atas kursi pemerintahan, menjabat di lembaga ataupun bekerja sebagai pegawai perusahaan, termasuk lulusan guru yang bekerja di lembaga pendidikan saat ini, sudah tentu lahir dari pendidikan bangsa ini bukan? Namun mirisnya, betapa banyak dari mereka yang berebut kursi kekuasaan walaupun dengan cara keji. Nepotisme, suap menyuap, korupsi, hingga oligarki.
Di sisi lain pendidikan yang kini tengah diterapkan, seolah membiarkan orang menghalalkan berbagai cara demi memenuhi ambisi dunia. Terpuaskan kenikmatan jasmani serta memiliki segudang harta sekalipun lewat jalur haram, dianggap suatu kewajaran. Mengikuti nafsu sekalipun melanggar wahyu, menjadikan generasi kian tak tentu. Kasus demi kasus kriminalitas yang dilakukan pelajar kian membuat hati teriris.
Inilah secuil bukti kebobrokan yang dihasilkan pendidikan kapitalis sekuler. Pendidikan yang semestinya berperan strategis memajukan bangsa, justru malah membawa kepada kemuduran yang berujung pada kehancuran. Mirisnya, gagalnya pendidikan mencetak generasi gemilang banyak terjadi di negeri-negeri muslim. Padahal, dahulu ketika kaum muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan, mampu mencetak generasi gemilang.
Guru : Korban dari Sistem yang Rusak
Karut-marut persoalan guru adalah potret buram yang kian kelam dan sulit dijernihkan. Berbagai permasalahan membelit kehidupan para guru. Mulai dari kisruh guru honorer, bongkar pasang kurikulum, guru terjebak pinjol dan judol, kriminalisasi guru, hingga kasus asusila yang melibatkan guru dan murid.
Meski guru memiliki peran yang sangat berjasa, penghargaan terhadap profesi ini sering kali tidak diimbangi dengan kesejahteraan finansial. Banyak guru, terutama di daerah terpencil atau yang berstatus honorer, menghadapi kekurangan ekonomi yang tidak sepadan dengan jasanya. Alih-alih berdaya dan sejahtera, para guru makin lama malah makin terdesak oleh kondisi yang ada.
Menurut data dari lowongan kerja Jobstreet pada Oktober 2023, Indonesia berada di peringkat ke-5 negara ASEAN dalam hal gaji guru, yaitu sekitar Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta per tahun, itu pun jika guru tersebut berstatus ASN dengan golongan yang sudah tinggi. Untuk guru honorer, tentu jumlahnya jauh lebih memprihatinkan. Sedangkan di antara negara-negara anggota G20, Indonesia menduduki posisi paling bawah dalam hal gaji guru.
Bagaimanapun, guru adalah korban sistem rusak kapitalisme. Profesi mereka tidak sebombastis slogan-slogan dunia pendidikan. Gaji mereka minim, kesejahteraan tidak terjamin seutuhnya, belum lagi nasib guru honorer masih belum mengalami perbaikan signifikan. Kondisi ini makin buruk dengan adanya ancaman kriminalisasi dari para orang tua murid.
Tidak sedikit para guru yang terjerat pinjol. Menurut survei yang dilakukan NoLimit Indonesia pada 2021, sebanyak 42% masyarakat yang terjerat pinjol ilegal adalah guru. Sedangkan urutan kedua pemakai pinjol terbanyak adalah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 21%. Yang ketiga adalah ibu rumah tangga, yakni sebesar 18%.
Realitas miris lainnya, guru akhirnya menjadi profesi marjinal. Para lulusan pendidikan tinggi yang tidak mendapatkan pekerjaan sesuai bidang keilmuannya, biasanya mengambil jalan pintas dengan menjadi guru semata agar mereka tidak tuna karya.
Guru memiliki Peran Strategis, tetapi Dilematis dalam Realitasnya
Guru memang berkontribusi langsung dalam memberikan akses pendidikan berkualitas. Guru juga menjadi sumber pengetahuan utama bagi anak didik, baik melalui kegiatan pembelajaran di kelas maupun program edukatif lain di luar kelas.
Hanya saja, di tengah kompleksitas penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, tentunya guru tidak mungkin berjuang sendiri. Sebabnya, tugas guru tidak terlepas dari rangkaian kebijakan pendidikan dan nonpendidikan yang saling terkait dan bersifat sistemis.
Guru memang memiliki peran strategis, tetapi realitas di lapangan tidak seindah slogan yang terlontar. Jasa-jasa para guru seolah-olah hanya diingat saat seremonial Hari Guru.
Sejatinya di antara target besar pendidikan, tersimpan banyak faktor seputar keterbatasan fasilitas dan sumber daya yang menjadi kendala bagi guru dalam mencerdaskan para peserta didik. Minimnya infrastruktur pendidikan dalam gurita komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan, menjadikan posisi guru terjepit oleh tarik ulur kebijakan yang cenderung menonjolkan ego sektoral dan beragam kepentingan.
Demikian pula arus deras moderasi beragama menyulitkan guru dalam merealisasikan visi pendidikan kepada para peserta didik. Moderasi beragama justru mendistorsi peran hakiki pendidikan untuk menghasilkan generasi berkualitas. Standar benar dan salah menjadi abu-abu. Dengan kata lain, moderasi beragama adalah mekanisme mutakhir untuk melakukan sekularisasi kepada para peserta didik secara sistemis.
Belum lagi dengan Kurikulum Merdeka yang membuyarkan arah bahkan mengamputasi ruh pendidikan. Teknologi digital yang konon menjadi instrumen penting dalam Kurikulum Merdeka justru menjadi pisau yang mematikan motivasi belajar. Alih-alih para guru sempat membangkitkan karakter dan budi pekerti luhur para muridnya, yang terjadi malah murid-murid makin pragmatis, berpola pikir instan, dan liberal.
Islam Memuliakan Peran dan Posisi Guru
Islam benar-benar mewujudkan guru sebagai sosok yang “digugu” dan “ditiru”. Hal ini terkait erat dengan posisi Islam sebagai mabda‘ (ideologi). Masa keemasan peradaban manusia terjadi saat ideologi Islam memimpin dunia dengan penerapan aturan Islam kafah di dalam sistem kehidupan, termasuk pendidikan. Untuk mengembalikan masa keemasan itu, penyelenggaraan sistem pendidikan harus berlandaskan akidah Islam serta terintegrasi dengan sistem politik, ekonomi, dan sosial budaya yang bersumber dari syariat Islam.
Guru mengemban amanah agung. Guru adalah cahaya di tengah gelapnya kehidupan ketika tanpa ilmu. Rasulullah saw. adalah seorang guru. Allah Taala berfirman, “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 151).
Guru adalah pewaris dakwah para Nabi, serta pembina dan pencetak generasi masa depan yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan dan perilaku anak-anak didiknya, bahkan kecenderungan dan aspirasi mereka. Imam Al-Ghazali memuliakan profesi guru. Beliau mengatakan, “Siapa saja yang berilmu dan mengajarkannya, maka ia disebut ‘orang besar’ di segenap penjuru langit.”
Menjadi seorang guru sesuai tuntunan Islam adalah sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah, malaikat serta penghuni langit dan bumi sampai-sampai semut yang berada di sarangnya dan juga ikan senantiasa memintakan rahmat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR Tirmidzi).
Di antara peran yang paling penting dari seorang guru adalah membentuk kepribadian muridnya. Oleh sebab itu, wajib bagi guru untuk menjadi teladan yang baik bagi muridnya. Teladan yang baik adalah salah satu cara yang paling jitu dalam pembentukan kepribadian murid.
Guru wajib mengajarkan metode berfikir yang benar dan tidak rida terhadap hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Sebaliknya, ia senantiasa meninggikan kebenaran, juga tidak zalim dan munafik. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan dan merendahkan orang lain. Akan tetapi, Allah mengutusku sebagai seorang pengajar (guru) dan pemberi kemudahan.” (HR Muslim).
Mencermati aspek strategis peran guru, jelas problematik guru maupun dunia pendidikan secara umum harus menjadi tanggung jawab negara untuk menyelenggarakan sistem pendidikan sahih secara sistemis. Peran guru juga harus memperoleh sinergi dari orang tua murid, sekolah, masyarakat, dan negara. Hal ini penting agar guru tidak berjuang sendirian saat melakukan aktivitas pendidikan dan pembelajaran sebagaimana dalam sistem sekuler demokrasi saat ini.
Negara juga harus memposisikan pendidikan sebagai bagian dari realisasi kewajiban menuntut ilmu sekaligus tanggung jawab sistemis dalam rangka mengurusi urusan umat. Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah). Juga dalam hadis, “Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Demikian halnya firman Allah Taala, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti dengan apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11).
Islam memandang ilmu dan pendidikan sebagai perkara yang sangat vital, serta memiliki peran strategis yang tidak bisa diukur hanya dari dimensi keuntungan materi. Oleh karenanya, negara akan menyelenggarakan pendidikan dengan segenap kemampuan. Berapa pun biayanya akan diupayakan pemenuhannya oleh negara.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, negara Islam (Khilafah) dalam sejarah emasnya mencatatkan penghargaan yang sangat tinggi pada profesi guru. Khilafah menerapkan sistem politik yang menempatkan pendidikan sebagai sektor publik. Khilafah juga menerapkan sistem ekonomi Islam dengan pengelolaan harta berbasis baitulmal untuk mendukung kesejahteraan para guru.
Jaminan negara ini bersifat langsung. Maksudnya, hak ini diperoleh secara cuma-cuma atau berbiaya semurah-murahnya sebagai hak rakyat atas negara. Pembiayaan seluruh unsur pendidikan di berbagai jenjang (dasar, menengah, tinggi), baik yang menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara.
Khilafah berkepentingan untuk menyediakan para guru terbaik untuk mendidik dan mencerdaskan generasi. Khilafah juga harus memastikan agar para guru memperoleh gaji yang layak. Ini menunjukkan bahwa penghargaan terhadap guru bukan hanya dari nominal gajinya, tetapi juga keberpihakan sistem terhadap pendidikan yang diposisikan oleh Khilafah sebagai kebutuhan pokok umat.
Terkait pembiayaan pendidikan oleh Khilafah, ada dua sumber pendapatan baitulmal untuk membiayai pendidikan. Pertama, pos fai dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara, seperti ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, dipungut dari rakyat hanya ketika kas baitulmal kosong, itu pun hanya kepada laki-laki muslim yang kaya. Kedua, pos kepemilikan umum, seperti sumber kekayaan alam, tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
Biaya pendidikan juga bisa diperoleh dari wakaf. Meskipun pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan secara suka rela.
Sejarah mencatat, gaji guru pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. sekitar 4-15 dinar per bulan. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sedangkan gaji untuk periwayat hadis dan ahli fikih mencapai 4.000 dinar. Dengan harga emas murni yang saat ini mencapai sekitar Rp1.500.000 per gram dan berat satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, gaji guru saat itu mencapai Rp12,75 miliar per tahun. Sedangkan pengajar Al-Qur’an dan hadis mencapai Rp25,5 miliar per tahun.
Dengan demikian, betapa berat tugas guru dalam mendidik murid-muridnya yang akan meneruskan pembangunan peradaban di masa depan. Namun, dalam Khilafah, tugas berat itu diberi penghargaan sepadan yang salah satunya tampak dari tingginya gaji guru pada masa itu. Guru pun bisa fokus mengajar, mengembangkan ilmu, dan tidak perlu terbebani dengan biaya operasional atau tekanan ekonomi, apalagi sampai terlibat pinjol. Untuk itu, hanya dengan sistem pendidikan slam yang mampu mewujudkan guru yang kompeten dan berkualitas. Wallahualam bissawab.
Referensi :
https://headlinekaltim.co/guru-ngaji-cabuli-murid-di-samarinda-seberang-ini-kata-kpad-kaltim/
(https://www.prokal.co/kriminal/1775338207/guru-sd-didakwa-berbuat-cabul-ada-4-korban-melapor)