Dikhawatirkan Mangkrak, Proyek IKN Bisa Menjadi Kota Hantu


author photo

5 Nov 2025 - 12.49 WIB



Oleh: Syahida Adha,S.Pd.

 Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali jadi sorotan dunia. The Guardian menulis tajuk yang menohok: proyek ambisius ini berpotensi menjadi ghost city—kota hantu—karena pembengkakan anggaran, lokasi yang kurang strategis, dan lambannya realisasi investasi. Bahkan, Presiden Prabowo Subianto pun belum pernah meninjau langsung proyek tersebut.

Sorotan ini menunjukkan bahwa euforia pembangunan IKN kian meredup. Narasi “pemerataan pembangunan” ke wilayah Timur yang dulu dielu-elukan, kini justru memunculkan pesimisme. Di lapangan, masyarakat sekitar IKN masih hidup dalam keterbatasan. Alih-alih menikmati dampak ekonomi, mereka justru menanggung beban sosial dan lingkungan.

Yang menarik, media asing bisa menyoroti persoalan ini dengan lebih terbuka, sementara media lokal cenderung diam atau mencitrakan proyek ini secara positif. Padahal dalam sistem demokrasi sekuler, media disebut sebagai “pilar keempat demokrasi”. Namun kenyataannya, media sering kali tunduk pada kepentingan pemodal dan penguasa. Fungsi edukatif dan kontrol sosialnya mandul, digantikan oleh propaganda pembangunan.

Inilah buah dari sistem kapitalis-sekuler yang menjadikan manfaat dan citra sebagai tolok ukur kebijakan. Selama proyek dianggap menguntungkan secara ekonomi dan politis, maka kritik disingkirkan. Padahal Islam mengajarkan, keberhasilan sebuah kebijakan bukan diukur dari pertumbuhan ekonomi atau prestise global, melainkan dari sejauh mana kebijakan itu membawa maslahah (kebaikan hakiki) dan keberkahan bagi rakyat.

Dalam sejarah Islam, pemindahan pusat pemerintahan bukan perkara simbolik. Khalifah Umar bin Khaththab r.a. memindahkan pusat administrasi ke Kufah dengan pertimbangan strategis, keamanan, dan efektivitas pelayanan umat. Semua dilakukan berdasarkan musyawarah bersama para ahli dan ulama, bukan atas kepentingan politik atau investor.
Islam menetapkan bahwa negara (khilafah) wajib mengelola pembangunan berdasarkan syariat, bukan nafsu kekuasaan. Negara harus memastikan kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan sumber daya milik umum (milkiyyah ‘ammah), bukan dengan utang, investor asing, atau proyek mercusuar yang justru menambah beban. Dalam konstruksi Islam kaffah, pembangunan tidak pernah terpisah dari aspek spiritual, sosial, dan moral. Semua diarahkan untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan ridha Allah SWT.

Maka, sorotan media asing terhadap IKN sejatinya menjadi cermin bahwa proyek raksasa ini kehilangan arah karena dibangun di atas paradigma yang keliru — paradigma sekuler. Solusi sejatinya bukan sekadar evaluasi teknis atau transparansi anggaran, melainkan mengganti sistem yang melahirkan proyek semu semacam ini.

Islam kaffah menawarkan jalan keluar yang nyata: sistem pemerintahan berbasis wahyu, yang menempatkan penguasa sebagai pelayan umat, media sebagai penyampai kebenaran, dan pembangunan sebagai sarana kemaslahatan, bukan alat pencitraan. Sebab hanya dengan sistem Islam lah pembangunan akan melahirkan keberkahan, bukan kekhawatiran; kemajuan, bukan kehampaan.

“Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari)

Kini, kita patut bertanya: mau sampai kapan pembangunan dijalankan dengan standar sekuler yang rapuh? Sudah saatnya negeri ini membangun dengan paradigma Islam kaffah — agar tak lagi lahir “kota hantu”, tetapi kota berkah yang menegakkan keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat.
Bagikan:
KOMENTAR