Oleh : Fani Ratu Rahmani (Aktivis dakwah dan Pendidik)
Di tengah era digitalisasi hari ini, kita memang membutuhkan teknologi yang dapat memberikan berbagai manfaat dan memudahkan manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk dalam hal pengaturan atau penyimpanan data di masyarakat. Kemajuan teknologi tentu berpengaruh besar untuk menjadikan aktivitas lebih efektif dan efisien.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kalimantan Timur mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada terhadap maraknya modus penipuan berkedok aktivasi Identitas Kependudukan atau IKD. Kasus ini mulai banyak dilaporkan dari sejumlah daerah di Kaltim dengan pola yang serupa.
Namun, ternyata persoalan modus terkait data masyarakat bukan sekali ini saja muncul. Di tahun 2024 lalu saja, ada beredar di media sosial bahwa enam juta data nomor pokok wajib pajak (NPWP) diduga dibocorkan peretas (hacker) yang pernah viral, yaitu Bjorka. Isu dugaan kebocoran data itu mencuat setelah pendiri Ethical Hacker Indonesia Teguh Aprianto mengungkapkan adanya penjualan jutaan data NPWP di forum ilegal. Data yang bocor di antaranya NIK, NPWP, alamat, nomor HP, email, dan lainnya. Data-data tersebut dibanderol US$10 ribu atau sekitar Rp152,96 juta (kurs Rp15.296).
Pernyataan bahwa “data adalah sumber daya paling berharga di dunia” bukanlah pepatah semata. Ini justru realitas yang ada saat ini. Arti penting data ini juga pernah diamini oleh Menkeu Sri Mulyani pada 2021. Ia mengatakan data adalah sumber daya yang penting diperhitungkan pada era digital, bahkan melampaui minyak. Dengan penguasaan data, seseorang bisa mengendalikan kepentingan suatu negara.
Sejatinya, penguasaan teknologi tanpa asas yang sahih dapat mengantarkan pada kejahatan dan kecurangan. Alhasil, keberadaan teknologi yang seharusnya banyak membawa manfaat, malah lebih banyak mendatangkan mudarat bagi umat manusia. Sebagaimana yang terjadi sekarang, teknologi justru menjerat manusia pada keburukan dan kerugian.
Kian maraknya kejahatan saat ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sistem kehidupan yang berada di tengah kita. Dasar kehidupan yang berasal dari Sekularisme menjadikan manusia bersifat materialistis, yaitu melakukan apa pun demi memperoleh harta. Tidak ada rambu-rambu agama yang mengatur cara berpikir ataupun bertingkah laku. Ini karena standar kebahagiaan dalam kapitalisme adalah kepuasan jasmani.
Dari sistem kehidupan yang kini berjalan, lahirlah masyarakat yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan harta. Mereka mengira hanya harta yang dapat membuat bahagia. Tidak peduli yang dilakukan merugikan orang lain atau tidak, terpenting adalah keuntungan bagi dirinya. Inilah pangkal kian maraknya pelaku kejahatan di dunia maya. Semua dilakukan dengan dorongan materi yang diperbudak hawa nafsu.
Kebocoran-kebocoran data pribadi yang mudah diretas oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, maka bisa kita simpulkan bahwa di satu sisi pemerintah ingin membuat sebuah sistem yg mudah dan cepat, namun di sisi lain, negara gagal melindungi data-data tersebut sehingga justru terjadi kebocoran. Lagi-lagi yang jadi korban rakyatnya.
Peran negara yang serius mengurus rakyatnya, memang patut dipertanyakan di sistem sekuler-kapitalis saat ini. Di tengah gembar-gembor era digital, kebocoran data jelas aib yang menampar kepemimpinan negara. Realitas pahit atas kebocoran data atau penyalahgunaan data warga justru menegaskan bahwa negara telah kehilangan wibawa sekaligus gagal memberikan jaminan perlindungan data bagi rakyatnya. Negara juga nyata-nyata mandul dalam menjaga keamanan data.
Negara Islam dalam Islam memiliki peran syar’i sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (perisai, pelindung) bagi rakyat dalam berbagai kondisi, tidak terkecuali dalam hal keamanan data pada era digital. Ini adalah wujud pelayanan negara kepada rakyatnya sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Imam/khalifah itu laksana penggembala (ra’in) dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Juga dalam hadis, “Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai (junnah), orang-orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, dengannya ia akan mendapatkan pahala. Namun, jika ia memerintahkan yang lain, ia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Atas dasar ini, hanya imam/khalifah yang disebut sebagai junnah karena ialah satu-satunya yang bertanggung jawab sebagai perisai. Untuk menjadi junnah bagi umat, selain mengharuskan adanya seorang pemimpin yang kuat, berani, dan terdepan, juga butuh kekuatan institusi negaranya. Kekuatan tersebut bersumber dari dasar pribadi sang pemimpin dan negaranya, yaitu sama-sama akidah Islam. Kekuatan itu pula yang selanjutnya digunakan untuk melayani dan melindungi rakyat.
Dalam hal keamanan data, Negara dalam Islam akan menjaga data rakyat yang merupakan hak rakyat sekaligus bagian dari aset strategis negara. Untuk menjamin keamanan rakyat secara menyeluruh, termasuk keamanan data, Negara akan melakukan berbagai upaya secara maksimal. Negara berperan menyelenggarakan sistem pendidikan berbasis teknologi dan industri untuk mencetak para ahli di bidang tersebut. Teknologi digital dan informasi membutuhkan orang-orang kompeten yang mengikuti perkembangan zaman sehingga bisa terus meningkatkan keahliannya.
Negara dalam Islam yakni Khilafah, juga mengembangkan teknologi mutakhir di berbagai bidang yang dibutuhkan negara, terutama untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang diurusnya. Tidak hanya itu, upaya negara meliputi pemilihan pejabat yang amanah dan kompeten, khususnya di bidang teknologi informasi.
Beginilah Indahnya Islam. Islam tidak datang mengatur masalah teknis dan semacamnya itu secara detail. Islam hanya mengatur perkara ini melalui hukum-hukum umum. Detail teknis dan perkara eksperimental itu bisa dipilih sesuai hasil eksperimen, pengalaman, serta menurut situasi dan keadaan selama dalam batas-batas koridor hukum-hukum syariat. Di sinilah letak bahwa kemajuan teknologi dengan asas Islam akan selalu membawa maslahat bagi kehidupan. Wallahu a'lam bissawab.